Papat Yunisal, Sosok Tokoh Sepak Bola Wanita Asal Jawa Barat

PSSI dalam hitungan hari saja akan mengadakan Kongres Tahunan pada hari Minggu, (8/1) bertempat di Hotel Aryaduta, Bandung. Terpilihnya kota Bandung sudah dipaparkan dari artikel-artikel sebelumnya.

Ada cerita lain dari kota Bandung dan sekitarnya yang juga bisa dibahas yaitu mengenai sosok tokoh sepak bola wanita asal provinsi Jawa Barat.

Adalah Papat Yunisal, yang hingga umur 53 tahun masih mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan sepak bola domestik. Bahkan diantara rekan-rekannya di Tim Nasional sepakbola putri era 80-an, boleh dibilang tinggal Papat Yunisal yang masih setia dengan sepakbola.

Menyukai sepak bola tentu tidak ada sangkut pautnya dengan gender. Lelaki dan perempuan sah saja untuk menggemari olahraga ini. Tapi berbeda dengan pria, minat wanita untuk menjadi pemain sepak bola di Indonesia terbilang jarang. Sekalipun ada, jenjang kariernya cenderung lebih pendek.

Karena rata-rata dari mereka lebih memilih untuk berada di dapur daripada di lapangan ketika sudah menikah. "Karena keterbatasan misalnya suami tak mendukung," ungkap Papat.

Papat pun tak menampik, memang karier pesepakbola putri lebih singkat. Apabila pemain pria sedang on-fire di usia 25 tahun, sementara karier pemain putri justru redup, karena sudah fokus mengurus suami maupun anak.

Keseriusannya terhadap sepak bola nasional memang tidak dapat diragukan. Wanita asal Subang Jawa Barat ini sudah memegang lisensi kepelatihan C AFC. Bahkan, dia menjadi tenaga ahli di PSSI pusat yang membawahi 33 provinsi, menangani Tim Nasional Sepak Bola Indonesia di tahun 2010 dan 2015, sebelum akhirnya menjadi salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI periode 2016 – 2020.

Dia tidak menampik, dewasa ini sepakbola wanita kurang populer dibandingkan sepakbola pria. Hal ini yang membuat kaum hawa tidak begitu meminati olahraga ini. Katanya, padahal di pertengahan dekade 70-an hingga akhir 80-an sepakbola putri Indonesia sempat jadi Macan Asia. Bahkan tim putri Jepang yang notabene langganan manggung di Piala Dunia Wanita saja pernah dikalahkan dengan skor 1-0, pada tahun 77 silam.

"Sejarah dan keberhasilan itu seharusnya disosialisasikan sebagai motivasi untuk sepakbola di Indonesia, terutama sepak bola wanita," pungkas Papat.

Mengenai kongres PSSI, dirinya merasa bangga kota Bandung terpilih sebagai tempat penyelenggaraan. "Saya sangat bangga atas terpilihnya Bandung sebagai tempat kongres, ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya dan khususnya orang-orang yang terlibat dalam sepak bola. Bandung juga tempat favorit kunjungan wisata turis dalam negeri dan manca negara," katanya.

“Harapan saya terhadap kongres nanti adalah semoga bisa sejalan berjalan dengan lancar dan sukses, karena semua program-program dan aturan mengacu kepada statuta yang jelas,” tuturnya.

“Jadi untuk sepak bola wanita yang saya rencanakan bisa terakomodir dengan baik serta memiliki nilai jual yang positif dari segi tingkat prestasi maupun sponsor,” sambungnya.

“Saya juga berharap semua elemen masyarakat sepak bola harus berjalan bersama-sama, saling mendukung dan didukung."

Dalam satu acara workshop di Solo yang menghasilkan tiga permintaan, satu-satunya wanita yang duduk di bangku anggota Exco PSSI ini berjanji akan menyampaikan permintaan tersebut kepada PSSI. Tidak menutup kemungkinan juga akan dibahas dalam Kongres Tahunan PSSI pada 8 Januari di Bandung.

"Ini tiga poin yang luar biasa. Dengan petisi ini menandakan akan rasa inginnya para pesepakbola wanita untuk semakin profesional," ujarnya.

"Jadi saya sebagai satu-satunya anggota PSSI wanita akan membawa masalah ini dalam kongres PSSI nanti," tutupnya.

Berikut tiga poin penting dalam workshop tersebut:

1. Adanya kompetisi sepakbola wanita di 2017
2. Tidak adanya diskriminasi dalam sepakbola wanita
3. Ada kesinambungan pembinaan menuju profesional